MENYIKAPI BATAS KEPASTIAN DAN TAKDIR
سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ اْلأقْدَارِ
“Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.
Seorang salik (pengembara di jalan Allah) dalam menggapai cinta dan cita. Mereka mengadakan pengembaraan ruhaniah dengan melaksanakan mujahadah dan riyadlah. Hal tersebut dilakukan bertujuan semata-mata untuk mengabdi serta melatih diri meningkatkan iman dan yakin, karena mereka melaksanakan perintah Kitab Suci yang dinyatakan dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS.al Ankabut(29)69)
Sejak dahulu sampai sekarang, pengembaraan tersebut mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh, dengan melupakan urusan lain dan bahkan mengorbankan kepentingan duniawi. Untuk sementara mereka meninggalkan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Baik dengan sendiri-sendiri maupun dalam kelompok kecil, mereka melakukan perjalanan suci tersebut. Beri’tikaf dengan bersafari dari satu masjid kepada masjid yang lain, dan kadang juga dengan menyepi dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tinggal di dalam gua-gua di tengah hutan bahkan bermukim dalam waktu-waktu tertentu di komplek-komplek makam para waliyullah.
Namun demikian, betapapun kerasnya usaha tersebut, sesungguhnya mereka tidak akan mampu melewati batas yang sudah digariskan oleh takdir Allah s.w.t Demikian itu yang dimaksud oleh asy-Syekh Ibnu Atho’illah r.a, dalam konsepnya di atas: “Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.
Meskipun demikian, seorang hamba harus memulai dengan bekerja dan berusaha. Mereka harus menyingsingkan lengan baju, mencangkul dan membajak sawah. Memilih benih unggul, membaca pergantian musim dan mengalirkan air dari sumbernya. Ketika benih di tangan akan ditanam, hendaknya ditanam di tanah yang tepat dan cocok. Kalau tidak, betapapun telah dilakukan dengan memeras keringat darah sekalipun, jika benih tersebut ditanam di tanah yang tidak cocok, benih itu tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna. Kalaupun bisa tumbuh, namun tidak akan berbuah dengan baik. Apabila hal tersebut terjadi, berarti pekerjaan itu sia-sia. Amaliyah menjadi seperti debu bertebaran dan kemudian akan hilang sama sekali.
Dari setiap jenis tanah pasti mempunyai kekhususan. Di situ ada indikator yang dapat dibaca oleh matahati yang ‘arifin guna mengetahui rahasia garis takdir Allah terhadap seorang hamba. Namun tanah yang dimaksud bukan yang ada dipermukaan bumi, akan tetapi yang berada di dalam dada seorang hamba yang beriman. Allah s.w.t telah menetapkan sunnah-Nya, menciptakan garis-garis batas dan tanda-tanda—terhadap setiap jenis makhluk yang diciptakan-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran; 190) Ketetapan tersebut tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya.
Seorang petani yang baik seharusnya tidak hanya mampu mengenali jenis benih unggul saja, namun juga sifat tanah dan gejala pergantian musim serta jenis-jenis penyakit dan obat-obatan. Hal itu agar apa yang diusahakan minimal dapat mendekati kebenaran. Pekerjaan itu tidak melenceng dari suratan takdir yang tidak dapat ditembus oleh usaha manusia. Dalam kaitan pelaksanaan pengembaraan ruhaniyah ini, untuk menyikapi hal tersebut, mereka harus mampu menyatukan ‘dua kehendak yang berbada’ yang terbit dalam jiwa mereka sendiri.
Menanam benih itu tidak hanya di hati orang lain saja, namun juga yang penting di hatinya sendiri. Dengan dzikir misalnya, ketika dzikir itu diniatkan untuk melaksanakan mujahadah kepada Allah, hal itu dilakukan untuk membangun sebab-sebab supaya mendapatkan akibat yang baik. Jika dengan amaliyah tersebut seorang hamba berharap dibukakan hatinya untuk menerima Nur Ma’rifatullah serta Rahasia-rahasia kebesaran-Nya, maka hendaklah orang tersebut ingat bahwa Allah s.w.t telah berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash Shaafat(37)96)
Artinya; apapun yang sedang dikerjakan manusia, sesungguhnya—seperti juga dirinya—pekerjaan itu adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu, sejak dzikir itu dilakukan, hendaknya diberangkatkan dengan pemahaman yang kuat, bahwa dzikir tersebut hanyalah sebuah pelaksanaan (taqdir) dari sebuah ketetapan (qadla) sejak zaman azali. Orang yang sedang berdzikir itu harus mampu meredam kemauan basyariyahnya dan mengembalikan kepada ketetapan takdir azaliah serta menjiwai lafat-lafat dzikir yang sedang dibaca dengan dasar keyakinan, bahwa seorang hamba hanya sebagai pelaksana yang sekarang sedangkan Allah yang Maha Kuasa adalah perencana pekerjaan itu sejak zaman azali.
Dengan yang demikian itu, ketika irodah hadits dan irodah azali menyatu dalam satu semangat. Seorang hamba berdzikir dengan usahanya dan Sang Junjungan berdzikir dengan kekuasaan dan izin-Nya, maka dzikir yang asalnya lemah—karena dilaksanakan pada dimensi hadits—akan menjadi kuat karena dilaksanakan dalam kebersamaan dengan dimensi qadim. Selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan istilah “Tauhidul Fi’li” atau satu dalam perbuatan. Yang satu perbuatan seorang hamba secara majazi dan yang satunya perbuatan Sang Junjungan secara hakiki. Inilah yang disebut meditasi Islami. Melaksanakan konsep sebagaimana yang disampaikan dalam ungkapan Jawa: ‘mati sakjeroning orep supoyo biso orep sakjeroning pati’. Setelah orang mampu mencapai tahapan tersebut, segera dia harus meningkatkan dzikirnya pada tahapan berikutnya. Yakni dia hendaknya mengingat lagi, bahwa Allah pernah berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at Takwir(81)29).
Artinya: sesungguhnya apa yang dilakukan tersebut hanyalah terbit dari satu kehendak, yaitu kehendak Allah Yang Menciptakan Alam Semesta. Kehendak-Nya merupakan sebab pertama, kemudian dari kehendak itu timbul kehendak-kehendak lain yang tersusun tertip sesuai skenario azaliyah, sehingga seorang hamba berkehendak melaksanakan dzikir kepada Tuhannya sebagai akibat. Apabila dengan usaha tersebut kehendak yang hadits menyatu dengan kehendak yang qadim, maka sesungguhnya tidak ada lagi yang berkehendak kecuali hanya Allah Rabbul ‘Alamin.
Apabila seorang salik mampu mencapai tahapan tersebut, dzikir haditsnya mencapai dzikir qodim, maka ia akan mencapai interaksi dua dzikir yang berbeda. Yang satu dzikir seorang hamba sebagai munajat dan satunya dzikir dari Tuhannya sebagai ijabah. Dengan demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba akan mendapat ijabah dari-Nya. Allah Ta’ala menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya :
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS.al Baqoroh(2)152)
(malfiali, 24 Oktober 2008)