Ilmu Mukasyafah
Ilmu yang paparkan di atas adalah bagian dari “Ilmu Mukasyafah” yakni ilmu yang mempelajari seluk beluk hati. Apabila kinerja hati tumpul, berarti hatinya bodoh sehingga membutuhkan belajar, apabila kinerja hati tidak terarah berarti hatinya buta sehingga membutuhkan obat dan terapi. Di situlah ilmu mukasyafah menempatkan diri, merupakan pemahaman dalam ‘rasa’ (hati) bukan di dalam rasio(akal). Ilmu pengetahuan yang sangat luas dan bahkan tidak terbatas, bagaikan samudera yang tidak bertepi. Karena luasnya ilmu ini, maka di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sanggup ditampilkan dengan bahasa tulisan kecuali dengan perumpamaan atau i’tibar.
Sebagaimana dimaklumi, untuk memindahkan pengetahuan dari orang satu kepada orang yang lain membutuhkan alat, dan alat tersebut adalah bahasa. Sedangkan bahasa juga membutuhkan uraian dan penjelasan serta bukti-bukti dan dalil-dalil. Namun bagaimana halnya terhadap suatu tontonan misalnya—yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terlintas dalam benak siapapun. Bagaimana cara untuk menerangkan dan menguraikannya? Maka tidak ada cara lain kecuali dengan i’tibar. Al-Qur’an banyak mencontohkan perihal tersebut, bahkan Allah telah memerintah hamba-Nya untuk beri’tibar dengan firman-Nya:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Beri’tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.al-Hasyr; 59/2)
Manusia hanya mampu beri’tibar dengan mengutip dalil-dalil naqliyah saja, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits tanpa mampu bertanya bagaimana atau berusaha minta penjelasan lagi kepada siapapun secara aqliyah. Ketika seorang hamba membaca isyaroh dari Allah tentang hal yang ghaib melalui tamsil, maka mereka hanya mampu menampilkan tamsil itu dengan apa adanya. Allah dalam hal ini hanya memberikan tamsil kepada hamba-Nya, agar mereka dapat memahami dan membayangkan terhadap sesuatu yang ditamsilkan itu sekedarnya sesuai kesanggupan imajinasi yang terbatas.
Namun dalam kaitan ilmu mukasyafah ini yang terpenting ialah: “Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhah melalui seluruh ‘amalan lahir’, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya, bagaimana seorang hamba berhasil mendapatkan futuh atau terbukanya matahati sehingga dapat mengetahui sesuatu yang semestinya samar bagi orang lain, dengan pengetahuan itu hatinya menjadi semakin bertakwa kepada Tuhannya, itulah yang disebut ‘amalan batin’. Adapun amalan batin yang derajatnya paling tinggi adalah Ma’rifatullah atau mengenal Allah. Jadi, ilmu mukasyafah itu bukan ilmu yang didapat dari membaca tulisan atau mendengar ucapan tetapi dihasilkan dari buah mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah.
Oleh karena ilmu mukasyafah adalah buah ilmu dan amal, maka cara mendapatkannya hanya dengan jalan beribadah kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS.alAnkabut (29)69). Dengan hidayah yang telah dijanjikan tersebut, seorang hamba akan mendapatkan apa yang diharapkan dalam pelaksanaan ibadah yang dijalani atau thariqah. Buah toriqoh itu berupa cinta dan ma’rifat kepada Tuhannya yang menghantarkan mereka kepada keridlaan-Nya baik di dunia maupun di akherat nanti.
Hal tersebut seperti yang tersirat dalam munajat yang dipanjatkan oleh para salik pada setiap kali mereka melaksanakan wirid yang diistiqamahkan: “Wahai Tuhan kami, hanya Engkau tujuan kami dan ridla-Mu yang kami cari, maka berilah kami Ma’rifat dan cinta kepada-Mu”. Artinya; Ma’rifat dan Cinta itu akan menjadi landasan amal ibadah untuk menggapai ridla Allah, sedangkan guru mursyid yang ditawasuli dijadikan sebagai pembimbing perjalanan agar perjalanan itu terjaga dari tipudaya setan.
Walhasil: Yang dimaksud tawasul ibarat “fasilitas” yang diberikan kepada seorang hamba yang sedang melaksanakan ibadah agar dengan ibadah tersebut dia sampai kepada yang dimaksud atau do’a-do’anya mendapatkan ijabah dari-Nya. Seseorang hamba akan mendapatkan ‘fasilitas ibadah” bilamana ibadah tersebut dilaksanakan dengan ikhlas serta bertawasul kepada guru-guru Mursyid secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Seorang penya’ir tua berpuisi:
H A T I
Ketika telah bertemu
Dan cinta sudah menyatu
Maka sekat dan hijab menjadi sirna
Jarak dan waktu tidak berguna
Bagaikan laut ketika telah terbelah
Dan jalan setapak sudah terbuka
Maka dua kekasih yang sedang dimabuk rindu
Saling mencairkan cinta
Melebur dan menyatu
(al-Fakir ilaa afwi Maulahu, Muhammad Luthfi Ghozali)