2 comments on “KHOLIFAH BUMI 3 (Proses Kelahiran Kedua)

  1. Pertama kali saya membaca sampul buku “Kholifah Bumi” atau dalam Bahasa Arabnya yang sering ditulis dalam Al Quran “Khalifah Fi Al Ardh” saya menduga isinya akan bercerita tentang hakikat manusia sempurna atau Insan Kamil yang biasa dibahas oleh Syeikhul Akbar Ibnu Arabi, salah seorang Sufi yang memiliki ekspresi spiritualitas dan intelektualitas yang tinggi yang pembahasannya membuat pembacanya mengernyitkan dahi karena term filsafat ataupun ekspresi sufistiknya menggunakan bahasa yang melambung dan komplek. Namun, prasangka saya dibuatnya kecele karena yang dibahas oleh Muhammad Luthfi Ghozali “Kholifah Bumi, Guru Mursyid Sebagai Bapak Ruhaniyah” adalah kholifah dalam arti kata yang sesungguhnya sebagai peran utama dalam pembahasannya dengan bahasa yang sederhana dan membumi sehingga bisa diterapkan oleh para pencari atau pejalan spiritual yang sedang menuju Allah (Salik) sebagai bahan acuan.
    Untuk menyamakan persepsi judul buku tersebut saya langsung menghubungi Sang Penulis dan mendapat konfirmasi bahwa yang dimaksud Kholifah Bumi memang Sang Insan Kamil atau manusia sempurna.
    Berbicara tentang manusia, manusia harus diperlakukan sebagai standar penilaian bagi umat manusia yang lain. Secara historis, manusia selalu mencari yang namanya manusia sempurna, dan manusia sempurna yang dicari tersebut bisa saja berupa tokoh terkenal dalam sejarah, tokoh legendaris ataupun tokoh spiritual. Kita dapat mengatakan bahwa yang mendasari manusia mencari Manusia Sempurna adalah keinginan manusia itu sendiri terhadap kesempurnaan, keterbatasan pencarian, dan adanya kesamaan dengan Tuhan atau untu menghindarkan diri dari kelemahan dirinya.
    Buku ini penting sebagai solusi bila dihubungkan dengan krisis global, yang telah melahirkan krisis-krisis baru yang lebih besar daripada sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui krisis sekarang tidak lain adalah perusakan sejumlah kesenian, kebiasaan atau tradisi, nilai transenden dalam masyarakat, spiritualitas, kebahagiaan, keceriaan dan berbagai budaya modern yang ‘disamakan’ dengan budaya Barat dalam pemahaman, pendapat dan gaya hidup. Isi buku ini adalah berlandaskan pengalaman individu Sang Penulis dalam upaya membangkitkan spiritualitas pembacanya dalam menghadapi persoalan yang tidak terselesaikan dalam pencariannya. Membaca tulisannya Luthfie Ghozali terasa bak menapak tilas perjalanan spiritual berupa mujahaddah, riyadhah dan lainnya yang biasa dilakukan oleh para Sufi.
    Di dalam buku setebal lebih dari 550 halaman, itu hanya dibagi dalam dua bab saja, bab pertama amanat dan yang kedua khianat. Di dalam bab awal, yang dibahas selain manusia sebagai kholifah bumi juga dibahas tentang manusia di dalam tiga tahap kehidupan, dari alam ruh, alam dunia sampai alam akhirat. Bab kedua membahas tentang khianat. Yang disebut amanat adalah bila menjalankan perjanjian yang telah disepakati dan khianat bila melanggar isi perjanjian. Konsekwensinya bagi yang amanat akan diberi imbalan surga dan bagi yang khianat nerakalah balasannya. Rasanya buku ini tepat untuk para Salik mubtadi, karena bila disejajarkan dengan para Sufi klasik seperti Rabi’ah ‘Adawiyah (713-801M) 1) surga neraka bukanlah yang menjadi fokus pembahasan. Cinta membuat dia takwa dan karena cinta pula yang membuat ia tidak mengharapkan ganjaran. Cinta Rabi’ah cinta abadi, cinta yang membuatnya tidak takut apa saja walau kepada neraka sekalipun. Ada sisi menarik dari tulisan buku ini karena dari daftar isinya hampir sama dengan karya William C. Chittick, dalam karyanya “Imaginal Worlds, Ibn al-‘Arabi And The Problem of Religious Diversity” 2), khususnya pada point pengetahuan diri dan fitrah manusia, ajal dan kehidupan akhirat. Yang membedakan keduanya adalah dalam Ibn Arabi dibahas juga tentang Annihilation and Subsistence (Fana dan Baqa), Tuhan dialami sebagai penyingkapan Diri-Nya pada mahluk, guna menghantarkannya menuju keberadaan. Ketika sifat-sifat manusiawi akan sirna dan sifat-sifat ketuhanan kekal. Inilah maqam ‘kekholifahan’, atau bertindak sebagai wakil Tuhan di dalam kosmos. Akan tetapi, dalam kebenaran inilah Tuhan bertindak, karena hamba sepenuhnya termusnakan. Sementara dalam karya Luthfi Ghozali “kholifah Bumi” khalifah adalah tokoh ideal yang patut ditiru perilakunya.
    Untuk melengkapi buku ini, sedikit saya tambahkan beberapa penjelasan terminologi tentang asal muasal kata khalifah. Kata khalifah berasal dari kata ahlaf, yang menurut kamus Bahasa Arab-Inggris F. Steingas 3) bermakna successor atau penerus/pengganti/wakil. Dalam terminology tasawuf kata khalifah memiliki makna ganda 4), pertama Khalifah Al Ma’nawiyah dan Khalifah Azh-Zhahiriyah.
    Khalifah Al Ma’nawiyah merupakan konsep manusia dalam insan kamil, di mana manusia memiliki jabatan di bumi sebagai manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi. Khalifah Al Ma’nawiyah menurut Ibn Arabi adalah khalifah Allah, bukan khalifah Rosulullah, karena ia secara langsung menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini, yakni sebagai wadah tajjali-nya yang sempurna.
    Khalifah ma’nawiyah ini merupakan kedudukan yang permanen, karena ini merupakan tujuan utama Tuhan dalam mengangkatnya sebagai khalifah. Oleh karena itu setiap masa tidak pernah kehilangan manifestasi (Mazhar) Ilahi.
    Sedangkan Khalifah Azh-Zhahiriyah merupakan jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin atau mengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara. Ibn Arabi menyebutnya Khalifah Rosulullah, karena ia bertugas menggantikan Rosul Allah dalam merealisasikan hukum-hukum yang ditinggalkannya. Khalifah Zhahiriyah, fungsinya untuk melestarikan masyarakat dan negara dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Artinya, khalifah Zahahiriyah juga menunjang Khalifah Ma’nawiyah.
    Dalam buku “Kholifah Bumi” yang dibahas adalah Khalifah Ma’nawiyah (disingkat khalifah saja). Menurut Al Quran (QS 2:30) 5) menyatakan perihal Nabi Adam sebagai perwujudan dari fitrah, atau sifat primordial, dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dengan demikian maka sebenarnya pada dasarnya manusia berposisi sebagai khalifah Allah 6).
    Selain Nabi Adam, yang dijadikan contoh sebagai Insan Kamil (manusia sempurna ) adalah Nabi Muhammad. Pandangan ini didasarkan pada hadits Qudsi “Lau Laka, Wa Lau Laka, ma Kholaqtu al Alam-Kulaha”, yang artinya “Kalau bukan karena engkau, (ya Muhammad) tidak akan kuciptakan alam semesta”. Kata Nabi dalam hadits tersebut ditafsirkan oleh para Sufi bahwa itu adalah Nabi Muhammad, kemudian ditafsirkan lagi sebagai manusia sempurna (insan Kamil), yaitu bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya, yaitu ketika ia telah mengaktualkan potensi kemanusiaannya 7). Pandangan ini dianut oleh beberapa Sufi terkenal seperti Ibn Arabi (w.1240), Shadr Al Din Al Qunyawi (W. 1274), Jalal Al Din Rumi dan Abd Al Karim Al Jilli. Rumi menganalogikan hal ini bahwa manusia itu ibarat buah, walaupun buah timbul setelah batang dan ranting, tetapi tumbuhan tersebut secara keseluruhan memang diciptakan untuk menghasilkan buah tersebut. Sebagaimana dalam buah memiliki kandungan mineral dan mengandung seluruh unsur pohonnya, demikian juga manusia. Selain memiliki unsur mikrokosmos, tetapi juga makrokosmos, karena manusia telah mencapai tujuan penciptaannya. Sebagai hasil evolusi paling akhir, manusia adalah paling sempurna dalam bentuk. Fungsi dan kompleksitasnya. Dalam bahasa Al Quran disebut “Ahsan Al Taqwim”.
    Dibandingkan dengan mahluk lainnya, manusia juga memiliki perbedaan yaitu kecakapan berbicara (al nuthqah) atau dengan rasionalitas (‘aql). Serta dikarunia akal dan roh yang membuat manusia berada di atas makhluk biologis yang lain.
    Dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi (Khalifah Fi Al Ardh). Yang sangat dimuliakannya. Sebagai khalifah, tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia gaib agar dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi, karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima “pesan Ilahi” ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rosulnya untuk membawa kabar tersebut. Setelah nabi tidak diturunkan lagi, karena Nabi yang terakhir adalah Muhammad SAW, maka pesan diteruskan oleh para wali Allah, Shahabat, Al Muqarrabin dan para Sufi, Mursyid dan Kholifahnya, ini mungkin yang dimaksud Luthfi Ghozali di dalam bukunya “Kholifah Bumi, Guru Mursyid sebagai Bapak Rohaniyah”.
    Adapun bentuk kongkrit pemuliaan Tuhan terhadap manusia adalah tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala sarana dan prasarana yang Dia ciptakan di Bumi ini, yang pada gilirannya bukan saja memungkinkan manusia hidup, tetapi menjalankan fungsinya sebagai wakil dan khilafah-Nya di muka bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci-Nya, agar segala rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-nya bisa terlaksana dengan baik.
    Tanpa banyak komentar, saya menilai karya ini sangat patut untuk dibaca, direnungkan dan dihayati oleh setiap manusia modern yang telah merasakan krisis spiritual dalam hidupnya. Karena selain langka, karya ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang manusia dan kedudukannya yang mulia di dalam planet bumi ini.

    Selamat membaca!

    Ciputat, 9 April 2009

    Ferry Djajaprana
    *)Pemerhati Mistik Islam

    Bibliography :
    1) Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
    2) William C. Chitick. Imaginal Worlds, Ibn al ‘Arabi and The Problem of Religion Diversity, State University of New York Press, 1994, P. 59
    3) F. Steingass, A Learner’s Arabic English Dictionary, Gaurav Publishing House, Delhi,1986
    4) Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo, 2005
    5) QS. Al Baqoroh : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman “Sesungguhnya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”.
    6) Cyril Glasse. Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
    7) Mulyadhi Kartanegara. “Menyelami Lubuk Tasawuf”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006

  2. Terima kasih Pak Ferry,
    saya tidak sanggup mengucapkan apa-apa selain yang ini:
    Jazaakumullohu Ahsanal Jaza
    Wassalamualaiku Wa Rohmatullohi wa Barokaatuh

Tinggalkan komentar